Ad Code

Dibalik Sekarung Beras Zulhas, Ada Hutan yang Terlepas dan Terkelupas

Zulkifli Hasan memanggul beras
[Foto: Dok. Kemenko Pangan via Liputan6.com]

ADA kalanya sebuah foto mampu membangkitkan ingatan yang jauh lebih panjang daripada momen yang ditangkap kamera. Ketika publik melihat Zulkifli Hasan—kini Menko Pangan—mengangkat sekarung beras untuk membantu korban banjir di Sumatera, kesan pertama yang muncul tentu adalah kepedulian. Di tengah situasi darurat, kehadiran pejabat yang turun langsung sering dianggap sebagai wujud tanggung jawab. Namun di balik adegan sederhana itu, ada rangkaian keputusan masa lalu yang masih menyisakan jejak hingga hari ini.

Pada periode ketika Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009–2014), Indonesia memasuki fase pelepasan kawasan hutan yang cukup besar dalam lintasan dua dekade terakhir. Sekitar 1,64 juta hektare kawasan hutan dilepas statusnya pada rentang waktu tersebut. Angka ini menggambarkan perubahan signifikan pada bentang alam yang sebelumnya menjadi penyangga hidup banyak komunitas lokal. Hilangnya status hutan bukan sekadar perubahan administratif, tetapi juga perubahan pada fungsi ekologis yang selama ini menjaga keseimbangan wilayah.

Salah satu keputusan yang paling banyak mendapat sorotan adalah SK 673/Menhut-II/2014, yang mengubah status sekitar 1,63 juta hektare kawasan di Riau menjadi “bukan kawasan hutan”. Kebijakan ini memberi dampak besar, karena banyak lahan yang sebelumnya berada dalam posisi abu-abu secara hukum kemudian memperoleh kejelasan status. Sebagian analis menilai keputusan ini membantu menyelesaikan tumpang tindih tata ruang, namun di sisi lain juga memunculkan kekhawatiran tentang semakin terbukanya ruang bagi ekspansi industri besar di wilayah yang dulu menjadi cadangan kawasan lindung.

Dampak dari perubahan ini mulai terlihat lebih jelas ketika bencana ekologis semakin sering terjadi. Banjir yang melanda Riau dan Sumatera Barat pada akhir 2024 hingga 2025 bukan hanya dipicu oleh curah hujan tinggi, tetapi juga oleh menurunnya kapasitas lingkungan menyerap air. Data Kementerian LHK menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, Sumatera telah kehilangan lebih dari 6,5 juta hektare hutan. Kawasan gambut yang sebelumnya berfungsi sebagai penahan air kini banyak berubah menjadi lahan terkelola yang tidak memiliki kemampuan ekologis serupa.

Ketika banjir besar kembali melanda pada akhir November 2025, beberapa daerah mengalami genangan panjang karena aliran air dari hulu tidak tertahan dengan baik. Ratusan nyawa melayang, ratusan lagi hilang, juga ribuan warga harus mengungsi, sarana pendidikan dan kesehatan hancur lebur, serta akses jalan utama terputus. Situasi ini kembali mengingatkan kita bahwa kebijakan tata ruang akan selalu memiliki konsekuensi jangka panjang bagi masyarakat.

Dalam konteks inilah, tindakan memanggul beras untuk korban banjir menjadi momen yang penuh nuansa. Di satu sisi, bantuan jelas dibutuhkan. Di sisi lain, kita juga diingatkan bahwa kondisi hari ini merupakan akumulasi perjalanan panjang dalam pengelolaan tata ruang dan hutan. Masa lalu memang tidak dapat diubah, tetapi langkah ke depan bisa diarahkan agar lebih berhati-hati. Keterbukaan data perizinan, percepatan pemulihan ekosistem, serta penguatan peran masyarakat lokal sebagai penjaga hutan adalah beberapa bagian penting dari upaya memperbaiki situasi. 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code