Ad Code

Makan Bergizi Gratis: Proyek Gizi atau Proyek Politik?

Korban keracunan di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat [Sumber: Antara]

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan gegap gempita. Pemerintah mengklaim akan memberi manfaat bagi puluhan juta anak Indonesia. Namun, kenyataannya, program ini justru melahirkan tragedi. Hingga September 2025, lebih dari 5.600 kasus keracunan tercatat di berbagai daerah. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang bertanggung jawab atas ribuan anak yang jatuh sakit akibat makanan negara?

Mari kita jujur, MBG adalah proyek politik yang dipaksakan. Target puluhan juta penerima manfaat dikejar tanpa persiapan matang. Akibatnya, dapur dipaksakan beroperasi, rantai pasok dipenuhi masalah, hingga pengawasan yang seharusnya jadi kunci justru diabaikan. Bagaimana mungkin program sebesar ini dijalankan tanpa regulasi ketat, tanpa transparansi data, bahkan tanpa kanal pelaporan publik yang bisa dipantau semua orang?

Yang lebih menyakitkan, pemerintah seakan menutup mata. Presiden sibuk menampilkan angka penerima manfaat dalam pidato, tetapi bungkam soal ribuan korban keracunan. Kepala Badan Gizi Nasional berulang kali menyebut ada evaluasi, tapi kenyataannya kasus terus berulang. Anak-anak kita dijadikan “kelinci percobaan” dari sebuah proyek yang penuh celah, sementara pejabat berlindung di balik jargon evaluasi dan satgas.

Kita harus berani bertanya: apakah program ini benar-benar untuk gizi anak, atau sekadar proyek besar yang jadi ladang keuntungan segelintir pihak? Banyak orang tua menyaksikan sendiri, menu MBG tidak lebih baik dari makanan rumah, bahkan kadang berupa burger, telur seadanya, atau lauk basi. Ironisnya, makanan ultra-proses dan susu bergula tinggi sempat dijadikan bagian menu—padahal itu bertolak belakang dengan misi gizi sehat.

Yang membuat geram, anggaran MBG ini diambil dari porsi pendidikan. Tahun ini, Rp335 triliun dari dana pendidikan dipakai untuk MBG. Padahal, masih banyak sekolah yang rusak, guru yang kurang sejahtera, dan anak-anak yang kesulitan membeli buku serta seragam. Bukankah lebih masuk akal dana sebesar itu langsung dipakai memperkuat pendidikan?

Rakyat sudah bersuara. Banyak orang tua lebih rela program ini dihentikan dan anggarannya dialihkan ke sekolah. Mereka sudah trauma melihat anaknya keracunan, muntah-muntah, bahkan dirawat di rumah sakit. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi korban dari program yang katanya “bergizi”.

Kita tidak sedang menolak bantuan gizi, kita menolak cara yang sembrono. Negara tidak boleh bermain-main dengan kesehatan jutaan anak hanya demi mengejar target politik. Jika benar peduli pada masa depan generasi muda, hentikan dulu program ini. Lakukan evaluasi total, buka data ke publik, dan tindak tegas semua pihak yang bermain di dalamnya.

Lebih baik kita mengarahkan anggaran itu untuk pendidikan yang nyata, misalnya sekolah gratis tanpa pungutan, fasilitas belajar yang layak, serta guru yang terjamin kesejahteraannya. Gizi anak bisa tetap menjadi urusan keluarga, asalkan lapangan kerja dibuka luas dan harga bahan pokok terkendali.

Program MBG saat ini tidak lebih dari proyek ambisius yang gagal di level implementasi. Kita tidak boleh membiarkan ribuan kasus keracunan berikutnya hanya karena pemerintah keras kepala. Anak-anak kita bukan statistik. Mereka adalah nyawa yang harus dilindungi, bukan dijadikan angka dalam laporan keberhasilan semu.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code