Ad Code

KH Romly Tamim: Ulama Sufi Pejuang dari Rejoso


KH Romly Tamim, atau yang akrab dikenal dengan Kiai Romly, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Pondok Pesantren Darul 'Ulum Rejoso, Jombang. Beliau tidak hanya dikenal sebagai ulama yang mumpuni dalam bidang fikih dan tasawuf, tetapi juga sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah sekaligus pejuang kemerdekaan.

Kiai Romly lahir di Bangkalan, Madura, pada tahun 1888. Ia adalah putra ketiga dari KH Tamim Irsyad, pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum. Sejak kecil, beliau dibawa ayahnya ke Rejoso, Jombang, sebuah daerah yang saat itu masih kental dengan budaya abangan. Di situlah cikal bakal Pesantren Darul Ulum mulai tumbuh dan berkembang.

Pendidikan dasar Kiai Romly diperoleh langsung dari ayahnya serta kakak iparnya, KH Kholil Juraemi. Pada masa mudanya, ia juga menimba ilmu kepada ulama besar yang sangat dihormati, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Kepatuhan dan ketawadhuan Kiai Romly kepada gurunya sangat tinggi. Salah satu kisah legendaris adalah ketika beliau rela mencari cincin istri gurunya yang jatuh di tempat pembuangan air besar, tanpa ragu dan penuh ketaatan. Kisah ini menjadi simbol kesetiaan seorang santri kepada gurunya—sesuatu yang kini mulai luntur di era modern.

Setelah berguru kepada Syaikhona Kholil, Kiai Romly melanjutkan belajar ke Pesantren Tebuireng di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari. Tidak hanya menimba ilmu, beliau juga dipercaya mengajar para santri atas permintaan langsung dari Kiai Hasyim. Kesungguhannya dalam beribadah dan ketekunannya dalam riyadhoh membuatnya menjadi santri kesayangan. Bahkan, Kiai Hasyim pernah membuat sayembara: siapa saja yang berhasil melihat Kiai Romly tidur akan diberi hadiah. Namun tak seorang pun berhasil, karena Kiai Romly hampir selalu tampak mengaji, berzikir, atau membantu kebutuhan pesantren sepanjang malam.

Pada tahun 1919, Kiai Romly sempat melanjutkan studi ke Tanah Suci selama satu tahun sebelum kembali ke Tebuireng. Sebagai bentuk kedekatan, KH Hasyim menikahkan putrinya, Nyai Azzah, dengan Kiai Romly pada tahun 1923. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama dan berakhir dengan perceraian. Setelah itu, Kiai Romly kembali ke Rejoso untuk membantu KH Kholil Juraemi mengelola pesantren.

KH Hasyim Asy’ari menunjukkan dukungan besar dengan mengutus 40 alumni senior untuk ikut serta membangun Pesantren Rejoso bersama Kiai Romly. Di Rejoso, terjadi pembagian peran: KH Kholil mendalami tarekat, sementara Kiai Romly lebih fokus pada akidah dan fikih. Menjelang akhir hayatnya, KH Kholil meminta Kiai Romly turut memimpin Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah. Namun Kiai Romly baru bersedia setelah mendapat restu dari gurunya, KH Hasyim Asy’ari, melalui istikharah. Sejak itu, beliau menjadi mursyid tarekat dan membawa kejayaan bagi Pesantren Rejoso yang kemudian dikenal sebagai pusat tarekat di Jawa Timur.

Salah satu warisan penting Kiai Romly adalah penyusunan wirid istighotsah, yang kini banyak diamalkan di kalangan Nahdliyyin. Wirid tersebut disusun melalui laku spiritual berupa puasa mutih dan kontemplasi selama tiga tahun. Hasilnya dituangkan dalam kitab al-Istighatsah bi Hadrati Rabb al-Bariyyah pada tahun 1951, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh putranya, KH Musta’in Romly, pada tahun 1961.

Selain dikenal sebagai ulama sufi, Kiai Romly juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama KH Hasyim Asy’ari, beliau menggerakkan santri untuk melawan penjajah. Pesantren Rejoso bahkan menjadi markas Laskar Hizbullah. Dalam perjuangan ini, salah satu putranya, Gus Ishomuddin, gugur ditembak penjajah di halaman pesantren.

Kiai Romly wafat pada 6 April 1958 atau bertepatan dengan 16 Ramadhan 1377 H di Rejoso, Jombang. Beliau meninggalkan warisan keilmuan dan spiritual yang luas. Beberapa karya tulisnya antara lain Tsamratul Fikriyah, Risalah al-Waqi’ah, dan Risalah ash-Shalawat an-Nariyah. Santri-santri beliau banyak yang kelak menjadi ulama besar, di antaranya KH Muhammad Abbas dari Buntet Cirebon dan KH Asrori Ishaq dari Surabaya.

Dari pernikahannya dengan Nyai Maisaroh dan Nyai Khodijah, Kiai Romly dikaruniai enam putra yang semuanya menjadi tokoh penting di dunia pesantren, termasuk KH Musta’in Romly dan KH Ahmad Rifa’i Romly. Hubungan pernikahan anak-anak beliau juga mempererat ikatan dengan pesantren-pesantren besar seperti Tambakberas, Lirboyo, Langitan, dan Genggong.

Kini, lebih dari enam dekade setelah wafatnya, nama Kiai Romly tetap harum dikenang. Sosoknya menjadi simbol ketekunan, keilmuan, kesederhanaan, serta ketulusan dalam mengabdi kepada agama, pesantren, dan bangsa.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code