Ad Code

Kurikulum Berbasis OBE dan Jalan Baru Pendidikan Tinggi


KITA hidup pada masa ketika dunia pendidikan tinggi bergerak sangat cepat, seiring perubahan kebutuhan industri dan dinamika global. Di tengah perubahan itu, kita di Indonesia kembali diingatkan bahwa arah besar kurikulum harus semakin jelas. Peluncuran Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2024 menjadi momen penting untuk memastikan perguruan tinggi tidak lagi berjalan dengan pola lama yang berfokus pada proses, tetapi benar-benar menyiapkan lulusan yang mampu bersaing. Di sinilah pendekatan outcome based education (OBE), menempati posisi sentral.

OBE sudah dikenalkan dan diarahkan penggunaannya sejak keluarnya Permendikbudristek Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Namun kembali diperjelas melalui Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2024 yang dibuat sesuai Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

OBE bukan sekadar jargon baru, bukan pula sekadar paket kebijakan yang tiba-tiba muncul. Ia adalah pendekatan yang menempatkan capaian sebagai inti proses pendidikan. Kita diminta untuk bertanya apa  kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa ketika lulus? Kompetensi apa yang relevan untuk dunia kerja dan kehidupan nyata? Dengan pertanyaan itu, barulah kurikulum dirancang mundur ke belakang—apa yang perlu dipelajari, bagaimana pembelajaran berlangsung, hingga bagaimana kita menilai hasilnya.

Pada titik inilah terasa bahwa pendekatan OBE lebih jujur. Selama ini kita sering terjebak pada orientasi administratif, misalnya jumlah pertemuan, daftar materi, dan tugas-tugas yang sekadar menggugurkan kewajiban. Dengan OBE, paradigma itu berubah. Kita tidak hanya memeriksa apakah mahasiswa datang ke kelas atau menyelesaikan tugas, tetapi apakah mereka mampu menunjukkan kompetensi tertentu. Pendekatan ini membuat pendidikan menjadi lebih bermakna, karena kita tidak lagi berhenti pada rutinitas, tetapi benar-benar menyiapkan keterampilan penting dalam dunia nyata.

Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2024 hadir untuk memperjelas standar itu. Jika sebelumnya standar capaian lulusan dirumuskan sangat baku melalui SN-Dikti, kini program studi diberikan ruang lebih fleksibel untuk mengatur rumusan CPL. Artinya, setiap prodi bisa mengembangkan identitas dan karakter unggulan masing-masing, selama tetap sejalan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Ruang fleksibilitas ini penting, karena kebutuhan kompetensi tidak sama antara kampus, wilayah, maupun bidang ilmu.

Namun fleksibilitas tidak berarti bebas tanpa arah. Justru dengan panduan ini, kita memiliki rambu-rambu yang lebih tegas untuk menjaga mutu. OBE mensyaratkan asesmen yang lebih jelas, evaluasi yang lebih ketat, dan bukti pembelajaran yang dapat diukur. Proses ini akan menuntut kesiapan semua pihak—dosen, pengelola prodi, pimpinan fakultas, hingga bagian penjaminan mutu—untuk bekerja dengan data dan sistem yang lebih sistematis. Di sinilah keberadaan Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pasangan ideal bagi OBE. Keduanya saling menguatkan: kurikulum berbasis capaian membutuhkan jaminan mutu yang kuat, dan sistem penjaminan mutu membutuhkan kurikulum yang terukur.

Kita juga perlu melihat OBE bukan semata-mata sebagai tuntutan akreditasi. Memang benar bahwa lembaga akreditasi nasional maupun internasional menilai kualitas perguruan tinggi berdasarkan penerapan OBE. Tetapi jauh lebih penting dari itu, OBE memberi kita kesempatan untuk menempatkan mahasiswa sebagai pusat. Kita ingin mereka benar-benar siap menghadapi dunia kerja yang melaju ke arah industri 4.5 dan 5.0, yang menuntut keterampilan adaptif, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kepekaan sosial.

Dalam konteks global, pendekatan ini membuat lulusan Indonesia lebih mudah disejajarkan dengan lulusan negara lain. Ketika standar kompetensi lulusan menjadi lebih seragam dan terukur, peluang mobilitas antarnegara, rekognisi internasional, hingga kerja sama akademik menjadi lebih terbuka. Dengan kata lain, OBE tidak hanya mengubah cara kita mengajar, tetapi juga cara dunia melihat kualitas lulusan kita.

Kini tantangannya adalah implementasi. Kita tidak bisa hanya mengandalkan dokumen panduan. Perubahan paradigma menuntut perubahan kebiasaan: mulai dari bagaimana kita merancang RPS, menyusun asesmen, melaksanakan pembelajaran, hingga memastikan sistem dokumentasi berjalan rapi. Kita membutuhkan kolaborasi dan kemauan untuk belajar ulang. Tantangan ini tidak mudah, tetapi masa depan pendidikan tinggi tidak akan menunggu.

Sudah saatnya kita bersama-sama membangun pendidikan tinggi yang lebih relevan, lebih adaptif, dan lebih berpihak pada masa depan lulusan. Dengan OBE dan sistem penjaminan mutu yang kuat, kita memiliki fondasi yang lebih kokoh untuk mengantar kampus di Indonesia menuju kualitas yang benar-benar berdaya saing.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code