Ad Code

Refleksi HPS 2014: Mengembangkan Pertanian Berbasis Pangan Lokal

Sumber foto: merdeka.com

PADA bulan ini, tepatnya tanggal 16 Oktober 2014 adalah peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang ke-34 sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No. 1/1979 di Roma, Italia. Sejak saat itu disepakati bahwa mulai tahun 1981, seluruh negara anggota FAO, termasuk Indonesia memperingati HPS secara serentak pada setiap tahunnya. Tujuan umum dari peringatan HPS adalah untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik ditingkat global, regional maupun nasional. 

Pada peringatan HPS ke-34 tahun 2014 ini tema yang diusung adalah “Pertanian Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial”, dengan tujuan umum untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dan para stakeholder terhadap pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi, baik bagi masyarakat Indonesia maupun dunia.

Tema ini dipilih karena tiga pertimbangan, yaitu: Pertama, Indonesia kaya akan berbagai sumber daya alam sebagai sumber pangan lokal yang memiliki nilai gizi tinggi. Kedua, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang senantiasa harus dipenuhi dan ketersediaan pangan dalam suatu bangsa merupakan suatu keharusan agar bangsa tersebut dapat mandiri. Ketiga, fluktuasi harga pangan dunia akibat perubahan iklim dan berbagai tantangan produksi pangan dunia perlu disikapi dengan mengoptimalkan sumber daya pangan lokal untuk kemandirian pangan.

Tema-tema nasional yang diusung kalau kita cermati sangat menarik dan relevan dengan kondisi terkini. Bagi bangsa kita, kalau ditinjau dari potensi sumberdaya lokal jelas kita mempunyai sumberdaya alam potensial yang bisa menyediakan pangan yang beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Untuk sumber karbohidrat saja bisa kita cermati, dimana setiap wilayah di Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura, Gorontalo dan Nusa Tenggara dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya. Belum lagi kekayaan dan keragaman untuk sumber protein, lemak, vitamin dan mineral, bahkan termasuk resep kulinernya juga mempunyai ragam yang luar biasa banyaknya. 

Namun demikian, persoalan pangan sampai saat ini masih menggelayuti bangsa kita, termasuk salah satunya masalah pemanfaatan sumberdaya lokal yang belum optimal. Kita masih sering mendengar berita-berita bencana kelaparan dan kurang gizi, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Bahkan, beberapa wilayah di Banten dan Jawa Barat pun yang relatif dekat dengan Jakarta, tak luput dari bencana ini. 

Kasus-kasus seperti ini tentu mengindikasikan bahwa kita belum mencapai ketahanan pangan. Padahal, dalam Universal Declaration of Human Rights dinyatakan bahwa pemenuhan pangan rakyat merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian negara harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan jumlah yang cukup, aman dan terjangkau, jika tidak berarti negara telah melanggar hak asasi rakyatnya.

Kedaulatan Pangan 

Bagi bangsa agraris ini, membangun kedaulatan pangan adalah sebuah keniscayaan. Kedaulatan pangan tak sekadar swasembada, tetapi lebih dari itu harus dilengkapi dengan instrumen lain, seperti sistem distribusi yang baik, adanya diversifikasi pangan dan terpenting tingkat kesejahteraan masyarakat yang layak, karena ini terkait dengan akses pangan.

Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah swasembada beras tahun 1984.  Pencapaian tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan indikator keberhasilan penanganan pangan dengan produk beras, karena untuk pencapaiannya banyak melakukan pengorbanan yang “tak wajar”, termasuk dengan mengabaikan komoditas pangan lainnya. Dengan kata lain, kebijakan pangan ketika itu dilaksanakan dengan pendekatan yang sentralistik dan fokus pada sisi produksi satu komoditas saja serta minim insentif.

Mengedepankan kuantitas produksi satu komoditas bukanlah jaminan mencapai kedaulatan pangan. Sedangkan minimnya insentif menyebabkan terhentinya inovasi dan petani tak termotivasi menanam padi. Akibatnya mereka banyak yang alih profesi, alih fungsi lahan atau bahkan menjual lahannya. Pertanian menjadi stagnan, sumber daya pertanian yang merupakan kekayaan lokal kita pun tak termanfaatkan dengan optimal. Dampak selanjutnya, tingkat kesejahteraan petani juga mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Kemiskinan pun tetap menghinggapi keluarga-keluarga petani hingga pada titik kesulitan yang luar biasa dalam mengakses atau mendapatkan pangan yang diproduksi sendiri. Padahal, Amartya Sen pemenang Nobel Ekonomi 1998, jauh-jauh hari sudah mengingatkan akan arti pentingnya akses dan aspek kebebasan daripada ketersediaan pangan. 

Sementara itu, masalah yang tak kalah dahsyat adalah ter/dijerembabkannya sektor pertanian, utamanya sub sektor pangan ke dalam liberalisasi perdagangan yang berakibat pada kondisi pangan yang labil. Keberadaannya pun dikuasai pemodal dan pengusaha ataupun makelar-makelar pangan yang membuat gerombolan atau kartel, dengan harapan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Pemerintah pun sepertinya tak kuasa melawan kekuatan-kekuatan yang selama ini menguasai perdagangan komoditas pangan. Sebut saja bagaimana carut-marutnya persoalan daging, kedelai, bawang merah, dan beberapa komoditas pangan lainnya yang akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan dan persoalan yang tak kunjung usai.

Pentingnya Pertanian

Berbicara pangan berarti juga bicara pertanian, karena hanya sektor pertanianlah yang dapat memproduksi pangan. Namun sayangnya, seringkali kita mengabaikannya sehingga sektor ini tidak berkembang sebagaimana mestinya. Salah satu dampaknya adalah kurangnya produksi pangan dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan pangan harus didatangkan dari luar negeri yang tentu saja berujung pada krisis neraca pembayaran dan instabilitas politik.

Kalau kita menyimak data-data impor pangan akhir-akhir ini, tentu sangat miris dan prihatin. Setidaknya untuk kebutuhan pangan utama seperti kedelai, beras, daging sapi, jagung, bahkan garam pun kita masih mengimpor. Padahal, jika saja pertanian mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, efeknya bukan saja akan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga mampu menekan laju inflasi yang akhirnya dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga dapat menghemat devisa negara. Apalagi di tengah kondisi perekonomian yang serba suram seperti saat ini, jangan sampai menambah beban neraca pembayaran terus-menerus hanya untuk membeli pangan yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri.

Sejarah perekonomian dunia sebenarnya telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak ada negara besar yang kuat tanpa didukung oleh pertanian yang tangguh. Meskipun bukan satu-satunya faktor penyebab, perpecahan negara-negara di Eropa Timur dan Uni Soviet sedikit banyak disebabkan oleh lemahnya sektor pertaniannya. Demikian juga negara-negara di kawasan Afrika, mengalami kesulitan dalam membangun bangsanya hanya karena sektor pertanian tidak dapat mendukung ketahanan pangannya.

Lebih lanjut, pertanian juga bukan sekadar berfungsi untuk menghasilkan komoditas pangan yang bernilai ekonomi saja. Lebih dari itu, Amartya Sen mengemukakan bahwa pertanian juga berfungsi sebagai bentuk keberlanjutan kehidupan dan kapabilitas suatu masyarakat yang beradab. Jadi kalau kita masih merasa sebagai bangsa yang beradab mengapa kita masih mengabaikan sektor pertanian?

Akhirnya, mudah-mudahan peringatan HPS tahun ini benar-benar menjadi momentum dan reflektor untuk menumbuhkan kembali semangat membangun kedaulatan pangan. Menjadi momentum dalam meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dan para stakeholder terhadap pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi serta terjangkau. Dengan demikian, kita tak lagi menemui kasus-kasus kelaparan kronis di negeri agraris ini. Semoga!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code