Ad Code

Banjir Bandang, Dajjal Lingkungan, dan Ekonomi Hutan yang Terkoyak

Kayu gelondongan pasca banjir bandang di Tapanuli Selatan(29/11/2025)
Foto: Antara/Yudi Manar

KITA sering membayangkan ancaman lingkungan sebagai fenomena religius atau moral, namun jika dilihat dari kacamata ekonomi, fenomena yang sebut saja  sebagai "Dajjal lingkungan" muncul sebagai aktor yang merusak nilai jangka panjang demi keuntungan pendek. Dajjal lingkungan hanya memandang hutan dengan satu mata, satu mata laba semata. Hutan yang seharusnya menjadi modal alam bagi kesejahteraan manusia, kita pandang semata sebagai komoditas yang bisa dipangkas, dijual, atau dikonversi. Dari perspektif ini, kita melihat bagaimana keputusan-keputusan ekonomi dan kebijakan pembangunan membawa konsekuensi nyaris tak terlihat sampai bencana datang.

Secara ekonomi, hutan sesungguhnya menyediakan jasa ekosistem yang tak terhingga, mulai dari penyerapan karbon, pengaturan siklus air, pencegah erosi, hingga penopang mata pencaharian masyarakat lokal seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Ketika hutan digunduli untuk pertambangan, perkebunan, atau pembangunan tanpa kompensasi yang memadai, biaya sosial dan ekonomi yang timbul jauh melebihi keuntungan korporasi. Hilangnya tutupan vegetasi mengubah hidrologi lokal. Air hujan yang semula meresap kini langsung mengalir ke sungai, meningkatkan debit dan mempercepat sedimentasi waduk serta sungai. Dampak akhirnya adalah banjir lebih cepat dan longsor lebih sering, dengan biaya pemulihan yang besar bagi publik.

Kejadian banjir bandang di Sumatra pada akhir November–Desember 2025 memberi contoh pahit dari perhitungan ekonomi yang keliru. Puluhan ribu orang mengungsi, ribuan orang tewas maupun hilang, dan kehilangan infrastruktur serta mata pencaharian yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah menuntut anggaran pemulihan yang besar. Di banyak lokasi terlihat tumpukan kayu gelondongan dan material longsor yang menghambat evakuasi dan menambah kerusakan. Ini menjadi bukti bahwa ketika hutan hilang, dampak ekonomi bencana berlipatkali. Dalam beberapa laporan awal, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat menyorot hubungan antara pembukaan lahan, kegiatan tambang, dan besarnya dampak banjir serta longsor. 

Dari sisi ekonomi makro, biaya pemulihan pascabencana serta kerugian produktivitas menurunkan pertumbuhan regional. Investasi publik dialihkan ke rekonstruksi darurat, sementara sektor informal seperti petani kecil, pedagang mikro, dan nelayan, menderita paling duluan dan pulih paling lama. Ketika peristiwa serupa berulang, modal alam yang habis mengikis basis produksi jangka panjang dan memperbesar ketergantungan pada bantuan pemerintah, yang pada akhirnya merongrong kapasitas fiskal daerah.

Data resmi memperjelas urgensi ini. Kementerian lingkungan hidup melaporkan luas lahan berhutan Indonesia pada 2024 sekitar 95,5 juta hektare, namun tekanan deforestasi nyata terasa di banyak wilayah. Pemantauan satelit menunjukkan lonjakan peringatan deforestasi dalam pekan-pekan terakhir, khususnya di pulau-pulau yang mengalami konversi lahan. Di Sumatra sendiri tercatat kehilangan jutaan hektare hutan dalam dua dekade terakhir. Angka-angka ini memperlihatkan bahwa kerugian ekologis telah menjadi risiko ekonomi sistemik. 

Solusi dari sudut ekonomi harus bersifat pragmatis dan preventif, mulai dari menginternalisasi biaya eksternal melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, memperketat izin dan penegakan hukum, termasuk menghuhukum pengambil kebijakan yang korup, sehingga pelaku yang mengeksploitasi lahan membayar biaya sosialnya, serta memberi insentif bagi restorasi dan agroforestry yang menjaga mata pencaharian. Estimasi awal kerugian ekonomi akibat banjir di Sumatra juga menunjukkan perlunya asuransi bencana serta investasi infrastruktur hijau untuk menahan air dan menstabilkan lereng.

Kita tidak sedang bicara soal retorika moral semata, melainkan perhitungan ekonomis yang sederhana, bahwa merusak hutan hari ini berarti membayar lebih mahal esok hari. Entah itu dalam bentuk korban jiwa, kerugian ekonomi, dan hilangnya masa depan. Melawan "Dajjal lingkungan" berarti mengutamakan kebijakan yang melindungi hutan dan, pada akhirnya, melindungi ekonomi kita sendiri.

Daftar Bacaan:

  1. Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik lingkungan hidup Indonesia 2024. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
  2. BBC News Indonesia. (2025, Desember). Banjir bandang di Sumatra: Proses evakuasi dan faktor kerusakan lingkungan. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia
  3. Global Forest Watch. (2024). Indonesia deforestation rates and related data. World Resources Institute. https://www.globalforestwatch.org
  4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2024). Status hutan dan kehutanan Indonesia 2024. KLHK.
  5. Kompas.com. (2025, Desember). Banjir bandang Sumatra dan kaitannya dengan pembukaan lahan: Investigasi awal kerusakan lingkungan. Kompas.com. https://www.kompas.com
  6. Tempo.co. (2025, Desember). Analisis penyebab longsor dan banjir di Sumatra: Dampak kegiatan tambang dan deforestasi. Tempo.co. https://www.tempo.co
  7. World Bank. (2023). Indonesia country environmental analysis: Environmental sustainability and economic risks. World Bank Group.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code