Ad Code

Pemicu Deforestrasi, Masyarakat atau Korporat?

Aktivitas tambang di tengah hutan alam di Ulu Masen, Aceh [Foto: analisadayli]

KETIKA membicarakan kerusakan hutan di Indonesia, kita sering terjebak pada narasi "apakah masyarakat atau korporat yang paling merusak hutan?". Namun, jika kita melihat data terbaru dan tren historis, gambaran yang muncul jauh lebih jelas. Deforestasi bukan sekadar akibat dari aktivitas individu yang membakar lahan atau menebang pohon untuk kebutuhan sehari-hari. Korporasi, dengan skala operasi yang besar dan izin konsesi yang luas, memainkan peran yang jauh lebih signifikan dalam hilangnya hutan kita—walaupun dampak masyarakat tetap ada dan tidak bisa diabaikan.

Laporan resmi Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada tahun 2024 Indonesia kehilangan 175,4 ribu hektare hutan secara netto. Angka ini mencerminkan penurunan tutupan hutan setelah memperhitungkan upaya reforestasi. Di saat yang sama, kebakaran hutan dan lahan mencapai 376 ribu hektare, sebuah angka yang menegaskan betapa rentannya ekosistem kita terhadap praktik pembukaan lahan yang tidak bertanggung jawab.

Namun ada fakta kunci yang sering tidak dibahas secara terbuka: sebagian besar kehilangan hutan selama dua dekade terakhir terletak di dalam area konsesi—baik konsesi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, maupun pertambangan. Analisis dari berbagai lembaga pemantau hutan memperlihatkan bahwa sekitar 55% deforestasi historis terjadi di wilayah yang berada di bawah izin korporasi. Ini bukan angka kecil, dan tren ini masih kita lihat hingga sekarang.

Dibandingkan dengan aktivitas masyarakat umum, perbedaan yang mendasar adalah skala dan intensitas. Ketika masyarakat membuka hutan, mereka cenderung melakukannya dalam jumlah kecil, seringkali untuk bertahan hidup. Sementara korporasi bekerja dalam unit ribuan hektare, menggunakan alat berat, rencana produksi, dan sistem yang beroperasi terus-menerus. Dampaknya tentu berbeda: sekali pembukaan lahan untuk perkebunan industri dilakukan, hutan yang hilang bukan hanya pepohonan—melainkan ekosistem lengkap beserta keanekaragaman hayatinya.

Kita pun perlu memahami bahwa kerusakan hutan hari ini lebih banyak terjadi pada hutan sekunder, yaitu hutan yang sudah terdegradasi akibat aktivitas masa lalu. Namun di balik degradasi itu, jejak konsesi sering menjadi pemicu awal: pembalakan berskala besar, pembangunan akses jalan industri, dan ekspansi kebun monokultur. Setelah hutan melemah, barulah perambahan kecil-kecilan atau pembakaran oleh masyarakat ikut memperburuk keadaan. Tapi penyebab primer tidak boleh kita abaikan.

Dalam perdebatan ini, kita juga harus berani menyingkap fakta bahwa sebagian kebakaran hutan bukan sekadar akibat aktivitas masyarakat kecil. Banyak laporan lapangan menunjukkan pola pembakaran yang terorganisasi untuk membuka lahan dengan biaya murah, sebuah praktik yang lebih terkait dengan bisnis daripada kebutuhan subsisten.

Kita tidak sedang mencari pihak untuk disalahkan secara mutlak, tetapi mencoba memahami di mana letak masalah yang sebenarnya. Dan dari data serta pola yang muncul, kesimpulannya tegas bahwa korporasi menyumbang kerusakan hutan jauh lebih besar dibanding masyarakat umum. Menyadari hal ini bukan berarti mengabaikan peran masyarakat, melainkan mengarahkan perhatian kita pada skala yang paling menentukan. Jika kita ingin menyelamatkan hutan Indonesia, maka kita perlu menata ulang model konsesi, memperketat izin, dan memastikan bahwa kepentingan ekonomi tidak terus mengorbankan masa depan ekologis kita.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code