Ad Code

Ramadan di Maumere, Apa Serunya?

MENJALANKAN ibadah puasa di bulan Ramadan jauh dari kampung halaman tentu memberikan pengalaman dan keseruan tersendiri. Meskipun sering mengawali puasa Ramadan di beberapa daerah atau kota di luar daerah atau kota kelahiran, setidaknya berpuasa tahun ini, di Kota Maumere bagi saya memberikan pengalaman, pelajaran juga kesan dan keseruan tersendiri. 

Perlu diketahui, Maumere adalah salah satu kota dan menjadi Ibu Kota Kabupate Sikka, salah satu kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Selain dikenal memiliki pantai-pantai yang eksotis dan terumbu karang yang indah, juga ada keanekaragaman budaya, suku, etnis, kuliner, dan sebagainya, juga dikenal dengan kerukunan dan toleransi yang tinggi antarumat beragama. 

Maumere dan Sikka pada umumnya juga dikenal sebagai kota yang sangat panas dan kering, dan terpenting lagi mayoritas atau sekitar 90 persen masyarakatnya memeluk agama Katolik. Jadi apanya yang menarik berpuasa di sini? Tentu bagi saya banyak hal yang membuat menarik menjalani puasa Ramadan di kota ini. Dan pada 2010 ini adalah Ramadan ketiga saya di Maumere dan jatuh pada bulan Agustus-September yang merupakan puncak musim kemarau sehingga matahari terasa terik dan cuaca panas di kota yang memang terkenal panas dan kering ini. Seperti halnya puasa pada tahun sebelumnya yang juga di Maumere, awal puasa Ramadan tak ada sambutan atau tradisi khusus seperti halnya di daerah-daerah yang mayoritas muslim. Setidaknya seperti daerah atau kota-kota seperti Kota Bogor, Surabaya, Malang atau Jakarta yang pernah saya singgahi dan apatahlagi di Jombang, kampung halaman saya. 

Dalam konteks ekonomi, awal Ramadan di Maumere juga tak ada “iring-iringan” harga barang kebutuhan pokok yang naik secara mencolok. Pun demikian dengan permintaan terhadap barang-barang kebutuhan pokok, tak ada perbedaan dengan hari-hari biasa. Tak ada kepanikan di masyarakat sampai harus membeli banyak barang yang tentu dapat berdampak pada kenaikan harga-harga. Tentu hal ini berbeda dengan daerah-daerah atau kota-kota yang telah saya sebutkan sebelumnya. Seringkali menjelang Ramadan diiringi dengan kenaikan harga barang-barang dan melejitnya permintaan barang kebutuhan pokok. 

Bagi saya, Ramadan di Maumere terasa begitu “sunyi” dan sederhana tetapi bersahaja dan penuh makna. Tak terdengar suara adzan dan tadarus dari masjid-masjid yang jumlahnya satu kota ini hanya ada empat masjid, satu masjid di tengah kota dan 3 masjid dipinggiran kota dan di tepian pantai. 

Masjid terdekat dari homebase saya sekitar 3-4 kilometer berada di pusat pemukiman warga. Kami biasa menyebut masjid perumnas. Saya dan teman-teman paling sering sholat berjamaah (tarawih) di masjid ini, terkadang juga keliling ke masjid-masjid lain seperti masjid muhammadiyah (kami sering menyebut seperti itu), karena berada di lokasi SMA Muhamadiyah sekaligus IKIP Muhamadiyah, juga dekat Bandar Udara Frans Seda. Kadang juga di masjid Kampung Beru yang lokasinya persis berada di tepi pantai. Jadi, untuk mengetahui jadwal puasa (waktu sholat, imsyak dan berbuka) kami hanya mengandalkan jam ataupun siaran televisi saja. 

Sedangkan untuk makan sahur dan berbuka, kami lakukan dengan memasak sendiri dan seringkali membeli makanan padang atau masakan jawatimuran dari resto-resto di pinggiran dermaga atau warung-warung jawa (pecel, rawon, soto, dan sate) dan makasar (coto makasar) yang banyak tersebar di pusat kota.  Kadang membeli dua  porsi langsung, satu porsi untuk berbuka, satu porsi untuk persiapan sahur. Lebih praktis dan simpel serta tidak bolak-balik untuk membeli makanan.

Menariknya, pada siang hari selama bulan Ramadan resto atau warung-warung makanan di Maumere tidak ada yang tutup. Tak ada ketakutan misalnya digeruduk ormas seperti dibeberapa kota lain untuk menutup atau setidaknya memasang tirai. Mereka berjualan seperti bulan-bula biasa, karena sebagian besar konsumennya adalah orang-orang Maumere yang sekitar 90 persen beragama katolik. Saya pribadi, justru merasa asyik-asyik saja, tak akan tergoda gegara warung makan buka siang hari. Justru saya bingung jika gegara puasa saja harus menutup warung, berhenti menyongsong rejeki dan minta orang lain untuk menghormati.

Sementara untuk takjil atau kudapan paling sering menikmati hidangan atau penganan semacam es kelapa muda atau es pisang ijo yang banyak dijual selepas ashar di sepanjang jalan kawasan Kampung Beru maupun di kawasan perumnas dan kawasan pertokoan.

Untuk aktivitas harian tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada liburan awal Ramadan juga tidak ada pengurangan jam kerja. Saya juga tetap dengan program-program yang sesuai dengan jadwal dan juknis yang telah dibuat. Bahkan di bulan Agustus-September yang bertepatan dengan puasa ini, seringkali harus mengambil data di lapangan dan menghadapi lokasi yang agak sulit dijangkau maupun cuaca yang sangat panas. Duduk di ruangan biasa saja bisa berkeringat, apalagi jika banyak bergerak di luar lapangan. Dan ini menjadi “keseruan” tersendiri di saat menjalankan puasa Ramadan.

Untungnya berpuasa di sini, meskipun menjadi yang minoritas, teman-teman dekat saya yang asli Maumere dan berbeda keyakinan selalu baik dan menghormati kami. Ketika makan siang, mereka seringkali minta izin kami dan makan menjauh dari kami. Demikian juga, mereka seringkali merekomendasikan tempat-tempat mencari makanan yang “aman” kami konsumsi karena tidak mengandung “bahan tertentu”. Sementara ketika menjelang sampai akhir sholat isyak, tarawih dan witir, terutama di masjid perumnas, selain aparat kepolian juga pemuda-pemuda katolik banyak yang terlibat dalam penjagaan dan pengamanan di sekitar masjid. 

Intinya berpuasa di Maumere, bagi saya secara pribadi, yang pada awalnya sedikit mengalami shock culture,  bisa melatih kesabaran, tenggangrasa, belajar memposisikan diri, serta belajar lebih disiplin dan melatih untuk lebih memahami makna puasa yang “tidak biasa”. Marhaban ya Ramadan!

Maumere, 10 Agustus 2010

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code