Wonosalam memang dikenal sebagai daerah pegunungan yang sejuk. Berada di lereng Gunung Anjasmoro dengan ketinggian sekitar 500 sampai 1.100 meter di atas permukaan laut, daerah ini secara alami memiliki suhu udara yang lebih rendah dibanding wilayah lain di Jombang. Namun, saat musim bediding datang—biasanya antara bulan Juni sampai Agustus—dinginnya udara di Wonosalam bisa turun drastis, bahkan menyentuh belasan derajat Celsius pada malam hingga dini hari.
Musim bediding sendiri merupakan istilah khas masyarakat Jawa yang merujuk pada musim dingin lokal, biasanya terjadi saat musim kemarau. Kita bisa menganggap musim ini sebagai “musim dingin tropis”, meskipun tanpa salju. Menurut BMKG, pada masa ini langit cenderung cerah karena curah hujan sangat rendah, yang menyebabkan radiasi matahari pada siang hari mudah keluar kembali ke atmosfer saat malam. Proses inilah yang menurunkan suhu secara signifikan di dataran tinggi seperti Wonosalam.
Fenomena ini disebut sebagai "radiasi pendinginan malam hari". Karena tidak ada awan yang menahan panas, energi panas yang tersimpan di permukaan bumi pada siang hari langsung menghilang ke atmosfer saat malam. Akibatnya, suhu tanah dan udara di sekitarnya menurun drastis. Inilah penyebab utama mengapa kita merasa lebih kedinginan saat malam dan pagi hari di musim bediding.
Selain faktor atmosfer, kondisi geografis Wonosalam juga berperan penting. Lanskap perbukitan dan lembah membuat udara dingin cenderung “terjebak” di permukaan tanah. Udara dingin lebih berat dari udara hangat, sehingga ia mengalir ke bawah dan mengisi lembah-lembah. Tak heran jika kawasan atau desa yang berada di dataran lebih rendah di Wonosalam terasa lebih dingin dibanding kawasan atau desa yang berada lebih tinggi.
Musim bediding bukan hanya soal dinginnya cuaca, tetapi juga menyimpan cerita dan pengaruh bagi kehidupan kita sehari-hari. Para petani cengkih dan kopi di Wonosalam, misalnya, harus lebih memperhatikan proses pengeringan bunga cengkehih ataupun biji kopi. Udara yang dingin dan kelembapan tinggi akibat embun tebal bisa memperlambat proses ini. Namun di sisi lain, suhu dingin bisa membantu menjaga kualitas pada biji kopi agar tidak cepat matang sebelum waktunya.
Dari sisi kesehatan, musim ini juga membuat kita lebih rentan terhadap gangguan pernapasan, terutama bagi anak-anak dan lansia. Oleh karena itu, banyak warga yang mulai membiasakan diri mengenakan jaket tebal, minum minuman hangat seperti jahe, dan menghindari aktivitas luar ruangan di pagi buta. Jaman dulu, banyak masyarakat Wonosalam membuat dan menyalakan perapian sederhana dengan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh di malam ataupun pagi hari.
Namun, di balik semua tantangan itu, musim bediding juga membawa pesona tersendiri bagi orang-orang yang datang ke Wonosalam. Suasana yang cerah dan tenang di pagi hari, serta kehangatan masyarakatnya atau hangatnya sajian kopi ekselsa menjadi daya tarik tersendiri. Kita tidak perlu jauh-jauh ke Dieng atau Bromo untuk merasakan "dingin menggigit"—cukup ke Wonosalam saat musim bediding, kita bisa menikmati sensasi yang sama. Apalagi di musim bediding biasanya beragam burung keluar dari sarang dan bernyanyi setiap pagi, menghadirkan orkestrasi alami dan tiada henti.
Musim bediding di Wonosalam bukanlah hal yang baru, tapi setiap tahun selalu terasa istimewa. Perubahan iklim global memang memengaruhi pola cuaca secara umum, namun fenomena lokal seperti bediding masih menjadi bukti bagaimana alam tetap punya siklus uniknya. Sebagai masyarakat yang tinggal di Wonosalam, kita patut bersyukur dan menjaga keseimbangan alam agar musim seperti ini tetap bisa kita nikmati di masa depan.
Jadi, mengapa Wonosalam semakin dingin saat bediding tiba? Jawabannya bukan hanya karena letaknya di lereng gunung, tetapi karena kombinasi berbagai faktor alam yang saling memengaruhi, mulai kemarau panjang, langit cerah, radiasi malam, dan bentang alam pegunungan. Semua berpadu menghadirkan suasana yang sulit dilupakan—dingin, namun menenangkan!
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!