Ad Code

Ekonomi “Perayaan” Ramadan

UMAT Islam Indonesia pada beberapa hari lagi akan memasuki bulan suci Ramadan, di mana mereka diwajibkan untuk berpuasa dan tidak memuaskan keinginan dasar mereka dari fajar sampai senja. Seringkali kita menggambarkan bahwa bulan Ramadan adalah bulan pelatihan dan mengejawantahkan dalil-dalil kerendahan hati dan meningkatkan kesalehan sosial serta secara kegiatan spiritual juga ditingkatkan. 

Namun pada kenyataannya, bulan Ramadan juga merupakan bulan perayaan, dimana secara ekonomi justru pengeluaran masyarakat melonjak karena mereka melakukan belanja tidak saja untuk memenuhi kebutuhan puasa yang idealnya lebih sedikit, tetapi juga persediaan untuk “perayaan” malam hari yang terutama terkait  dengan aktivitas berbuka maupun sahur. Di saat berbuka atau sahur seringkali harus tersedia makanan yang enak untuk memnjakan lidah dan dalam jumlah banyak yang tentu saja memerlukan biaya yang lebih besar. Bahkan pengeluarannya bisa lebih besar dari pengeluaran hari-hari biasa di luar bulan Ramadan. 

Jadi bukan fenomena yang aneh jika saat bulan Ramadan justru inflasi cenderung naik dan bisa menimbulkan risiko ekonomi yang lebih besar. Meskipun Bank Indonesia sebagai bank sentral optimis bahwa inflasi akan tetap terkendali, yang berada pada kisaran angka 2 dan 4 persen pada semester pertama pada 2023 ini. 

Namun dipihak lain, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi peringatan akan potensi inflasi yang lebih tinggi selama bulan Ramadan dengan melihat histori kenaikan harga selama bulan Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya. Beberapa komoditas yang biasanya menyumbang inflasi selama Ramadan adalah bahan bakar untuk transportasi maupun keperluan rumah tangga, berbagai komoditas sembako seperti minyak goreng, cabai, telur, daging sapi dan daging ayam, dan sebagainya. 

Pada 2019, yang berarti belum terjadi pandemic covid 19, tingkat inflasi bulanan melonjak sebesar 0,68 persen selama bulan Ramadan. Kemudian pada Ramadan 2020 dan 2021 inflasi turun menjadi 0,08 dan 0,13 persen. Salah satu penyebab turunya inflasi pada Ramadan 2020 dan 2021 adalah adanya berbagai pembatasan-pembatasan di masa pandemi Covid 19. Namun pada Ramadan 2022 lalu, tingkat inflasi melonjak lagi menjadi 0,95 persen akibat dari adanya pelonggaran. 

Selanjutnya berdasar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Maret 2023 yang bertepatan dengan awal Ramadan mencapai 0,18 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Jadi, pada awal Ramadan 2023 ini, laju kenaikan harga barang dan jasa relatif lebih terkendali dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. 

Salah satu penyebab melambatnya inflasi Ramadan 2023 adalah adanya beberapa komoditas atau tarif yang mengalami penurunan harga dan menyumbang andil deflasi yang besar. Salah satu tarif yang menyumbang deflasi cukup besar adalah tarif air minum PDAM yang mengalami deflasi cukup besar. Air minum PDAM memiliki andil deflasi sebesar 0,07 persen. Selain itu, ada juga komoditas lain yang menyumbang andil deflasi, seperti bawang merah mencapai 0,04 persen dan cabai merah sebesar 0,02 persen.

Meskipun inflasi bulanan masih terkendali, BPS mengingatkan agar mewaspadai adanya kenaikan harga sejumlah komoditas, khususnya saat menjelang Lebaran Idul Fitri 2023 nanti. Komoditas seperti daging sapi, daging ayam ras, bawang merah, telur, telur ayam ras, dan lainnya. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu terus-menerus  memastikan lagi, misalnya stok atau persediaan makanan yang cukup dan harus cukup meyakinkan masyarakat sehingga tidak terjadi panic buying dan hal ini akan membuat harga-harga tetap stabil dan terkendali. 

Patut diapresiasi sebenarnya ketika pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 104 triliun untuk program ketahanan pangan yang Sebagian dana yang dialokasikan (Rp 22,5 triliun) ditransfer ke pemerintah daerah. Pemerintah juga bergerak memastikan ketersediaan minyak goreng menjelang bulan Ramadan. Perlu kita ketahui bersama bahwa minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, Minyakita, mendadak langka di sejumlah daerah. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak sampai Rp20.000,- per liter  yang sebelumya Rp. 14.000,-. per liter.

Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan selain lebih berhati-hati terhadap risiko yang ada dan lebih tangguh dalam menghadapi dampak buruk dari setiap “gangguan” terhadap tatanan ekonomi nasional. 

Ramadan kali ini, umat Islam Indonesia (masih) kembali mengalami penghematan ekonomi. Namun, hal ini seharusnya tidak mempengaruhi bagaimana mereka menjalankan ibadah puasa, yang tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi ancaman bagi perekonomian. 

Selamat berpuasa, semoga kita tetap berrpuasa, berbuka puasa dan sahur dengan rahmat dan berkah dari Allah SWT. 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code