Ad Code

Menghitung Ulang Peran Petani dalam Ekonomi Nasional

SELAMA ini, petani seringkali ditempatkan sebagai aktor pinggiran dalam narasi besar pembangunan ekonomi nasional. Kita cenderung memandang sektor pertanian sebagai sektor tradisional yang tidak seefisien sektor manufaktur atau tidak secanggih sektor digital. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, petani justru memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas pangan, keberlanjutan lingkungan, dan menggerakkan ekonomi akar rumput. Kini saatnya kita menghitung ulang peran petani dalam kerangka ekonomi nasional, bukan hanya sebagai produsen pangan, tapi sebagai agen utama dalam transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, sekitar 29,2 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Ini berarti hampir sepertiga dari angkatan kerja kita masih menggantungkan hidup pada tanah, air, dan cuaca. Meski kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 13 persen, bukan berarti sektor ini tidak penting. Justru angka ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural, dimana banyak tenaga kerja terserap di sektor pertanian, namun dengan nilai tambah yang relatif kecil. Ini merupakan sinyal bahwa kita belum sepenuhnya mengapresiasi peran petani dalam sistem ekonomi secara adil.

Petani tidak hanya menghasilkan produk-produk pangan seperti beras, jagung, buah-buahan dan sayur-mayur yang kita konsumsi setiap hari. Sektor pertanian juga menciptakan pasar, mendukung industri pengolahan makanan, dan berperan dalam menjaga keseimbangan ekologi. Tanpa kerja keras petani, inflasi pangan bisa melonjak, kestabilan sosial bisa terganggu, dan ketergantungan pada impor akan meningkat. Misalnya, saat harga beras melonjak pada awal 2024, kita baru sadar betapa vitalnya kinerja para petani. Kenaikan harga gabah kering panen (GKP) menjadi Rp6.200 per kilogram memang menggembirakan bagi sebagian petani, tapi di sisi lain menunjukkan ketidakstabilan sistem distribusi dan stok pangan nasional.

Kita juga harus mengakui bahwa sebagian besar petani Indonesia masih berada dalam kondisi rentan. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian dan World Bank (2023), lebih dari 70 persen petani adalah petani kecil dengan luas lahan di bawah 0,5 hektare. Banyak dari mereka bekerja tanpa akses ke teknologi modern, lembaga keuangan atau permodalan, dan perlindungan harga produksi. Ironisnya, petani yang memberi makan bangsa justru menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kemiskinan maupun perubahan iklim.

Untuk itu, paradigma pembangunan ekonomi nasional harus berubah. Kita tidak bisa lagi menempatkan petani sebagai objek belas kasihan atau sekadar penerima bantuan sosial. Petani harus dilihat sebagai pelaku ekonomi yang strategis. Kita perlu memastikan bahwa mereka mendapat akses yang adil terhadap pasar, teknologi, modal, dan informasi. Program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian harus diperluas dan disederhanakan prosedurnya agar benar-benar menjangkau petani kecil. Selain itu, infrastruktur pertanian seperti irigasi, transportasi, dan gudang penyimpanan harus diperkuat agar hasil pertanian tidak terbuang sia-sia atau dijual murah karena tekanan waktu.

Selain itu, kita juga harus mendorong regenerasi petani. Saat ini, rata-rata usia petani Indonesia mencapai 52 tahun. Tanpa ada upaya menarik minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian, kita akan menghadapi krisis regenerasi. Beberapa inisiatif seperti program petani milenial di berbagai daerah patut diapresiasi, namun masih terbatas jumlah dan skalanya. Kita perlu memberikan insentif lebih besar bagi generasi muda untuk terjun ke sektor ini, misalnya melalui inkubasi bisnis pertanian berbasis teknologi, pelatihan agribisnis, serta jaminan akses lahan dan modal awal.

Sementara itu, perekonomian nasional yang kuat juga tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan angka-angka makro seperti PDB atau ekspor. Tetapi juga bergantung pada sejauh mana kesejahteraan rakyat di akar rumput terjamin. Ketika petani hidup sejahtera, konsumsi rumah tangga meningkat, pendidikan anak-anak mereka lebih terjamin, dan kualitas hidup meningkat, maka akan bisa menggerak kan sektor-sektro lain untuk juga bertumbuh. 

Kita juga harus lebih serius membangun sistem pertanian yang berkelanjutan. Tantangan perubahan iklim dan degradasi lahan memaksa kita untuk berpikir ulang tentang model-model pertanian yang selama ini eksploitatif. Pertanian ramah lingkungan, pertanian organik, dan pendekatan agroekologi harus menjadi arus utama, bukan sebagai alternatif. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi pelaku-pelaku pertanian berkelanjutan serta mendukung riset-riset yang mendorong efisiensi produksi tanpa merusak alam.

Dengan demikian, dengan menghitung ulang peran petani dalam ekonomi nasional berarti mengembalikan penghargaan kepada para petani yang selama ini menjadi tulang punggung bangsa. Kita perlu menempatkan petani sebagai pahlawan ekonomi, bukan sekadar simbol romantik pedesaan. Dengan membangun sistem ekonomi yang lebih adil bagi petani, kita tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga memperkuat fondasi sosial dan ekologis Indonesia ke depan. Sebab tanpa petani, kita bukan siapa-siapa.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code