Indonesia sebenarnya telah memiliki komitmen kuat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, mulai dari Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi, ratifikasi Paris Agreement (UU No. 16 Tahun 2016), hingga peningkatan target penurunan emisi menjadi 43,2% pada 2030 (ENDC, 2022). Namun, masalah utama muncul pada soal pendanaan. Berdasarkan data Climate Policy Initiative (2024), Indonesia membutuhkan dana sekitar USD 285 miliar hingga 2030, tetapi kapasitas APBN hanya mampu menutupi 34%. Di sinilah kita perlu mencari jalan lain—sumber pembiayaan inovatif yang berakar pada nilai, bukan sekadar angka.
Salah satu solusi potensial untuk dibahas dan digagas adalah wakaf hijau. Dengan potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 400 triliun per tahun (BWI, 2025), kita sesungguhnya memiliki sumber daya besar yang dapat digerakkan untuk misi penyelamatan bumi. Wakaf hijau adalah pemanfaatan aset wakaf untuk mendukung keseimbangan ekologis sekaligus memberikan dampak sosial dan ekonomi. Dengan konsep ini, ibadah kita tidak berhenti di masjid, tetapi meluas hingga menyentuh hutan, sungai, dan energi bersih—menjadi amal jariyah yang menumbuhkan kehidupan.
Beberapa inisiatif sudah mulai muncul. Hutan Wakaf Bogor, misalnya, menjadi contoh konkret bagaimana tanah wakaf dapat dikembangkan untuk konservasi dan mitigasi perubahan iklim. Di Malaysia, konsep serupa diwujudkan melalui wakaf panel surya dan wakaf air, yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat sekaligus mendukung SDGs poin 7 (energi bersih dan terjangkau) dan 13 (aksi iklim). Ini membuktikan bahwa wakaf dapat menjadi jembatan antara spiritualitas dan keberlanjutan lingkungan.
Namun, kita juga harus jujur bahwa jalan menuju implementasi wakaf hijau masih panjang. Indeks literasi wakaf nasional baru mencapai 50,48 dari skala 100 (BWI, 2020). Pengetahuan masyarakat tentang wakaf masih rendah, dan hanya sebagian kecil lembaga nazhir yang mampu mengelola wakaf secara profesional sesuai prinsip Waqf Core Principles (WCP). Selain itu, koordinasi lintas sektor—antara pemerintah, akademisi, ormas, dan lembaga keuangan—belum terbangun secara kuat. Akibatnya, potensi besar ini masih terfragmentasi dan belum membentuk ekosistem yang utuh.
Kita membutuhkan strategi nasional untuk memperkuat literasi dan tata kelola wakaf hijau. Fatwa yang menegaskan dasar normatif wakaf hijau perlu segera diterbitkan, disertai insentif fiskal dan non-fiskal bagi lembaga pengelola wakaf produktif. Pemerintah bersama BWI, KNEKS, OJK, dan Kemenkeu dapat mendorong pengembangan model pembiayaan berbasis green sukuk, Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), atau Sharia Restricted Investment Account (SRIA) yang terintegrasi dengan proyek wakaf hijau. Di sisi lain, lembaga pendidikan dan ormas seperti NU, Muhammadiyah, dan Greenpeace dapat berperan sebagai motor literasi dan riset, memastikan bahwa konsep ini tidak berhenti pada wacana.
Kita juga perlu membangun sistem pelaporan dan transparansi digital untuk memantau aset, dampak, dan perkembangan proyek wakaf hijau. Dengan dukungan data yang terbuka, masyarakat akan lebih percaya, dan investor sosial akan lebih mudah terlibat. Kolaborasi multi-pihak dengan model pentahelix—yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, masyarakat, dan media—dapat menjadi fondasi untuk membangun ekosistem wakaf hijau yang berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, wakaf hijau bukan hanya instrumen keuangan, melainkan paradigma baru dalam membangun masa depan. Ia mengajarkan bahwa solusi iklim tidak hanya bisa datang dari teknologi tinggi atau kebijakan global, tetapi juga dari nilai luhur yang sudah lama hidup di tengah masyarakat kita. Wakaf adalah bentuk solidaritas sosial yang paling nyata—ia mengajak kita memberi bukan untuk mendapatkan, tapi untuk menjaga kehidupan.
Jika kita mampu mengintegrasikan nilai spiritual dan kesadaran ekologis, maka gerakan wakaf hijau akan menjadi bukti bahwa keberlanjutan tidak selalu harus mahal. Ia bisa lahir dari niat baik, dari gotong royong, dari keyakinan bahwa bumi adalah amanah, bukan milik pribadi. Kita perlu menyadari bahwa melawan krisis iklim bukan semata tugas pemerintah atau aktivis lingkungan—tetapi tanggung jawab kolektif kita semua.
Wakaf hijau adalah ajakan untuk berbuat lebih, untuk menanam harapan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah panas yang makin menyengat dan hujan yang tak menentu, mari kita bersama-sama mengubah kepedulian menjadi tindakan. Sebab, menyelamatkan bumi sejatinya adalah bentuk ibadah tertinggi, yaitu menjaga ciptaan Tuhan agar tetap lestari untuk generasi mendatang.


1 Komentar
Literasi boleh meningkat kesadaran akan tindakan belum tentu secara otomatis. Prinsip wakaf hijau penting tetapi para nazir wakaf harus lebih hijau (amanah, profesional, tidak merusak dirinya dan aset umat). Masih banyak para nazir dan wakif yang seolah-olah mau dianggap wakaf hijau tetapi masih ternyata belum terbukti. Contoh yang berkecimpung di perwakafan banyak yang merusak dirinya dengan merokok dan menjual rokok, bagaimana mencapai wakaf hijau yang sustain lah diri mereka tidak sustain. Wallahu'alam
BalasHapusThanks for your visiting and comments!