Ad Code

Ironi Ekonomi Jengkol


BELUM
juga mereda kehebohan perekonomian kita akibat secara simultan ada guncangan harga daging, bawang merah dan bawang putih, sejak bulan lalu sampai bulan Juni ini tak disangka-sangka jengkol dan petai menjadi aktor utama yang mengguncang perekonomian kita. Betapa tidak, terutama di Jakarta dan sekitarnya, hingga bulan Juni ini keberadaan dua komoditas berbau menyengat ini sulit di dapat dan harganya pun naik berkali lipat.

Harga jengkol yang biasanya berada pada kisaran 15.000,- rupiah per kilogram, kini menembus kisaran 60.000,- rupiah per kilogram. Demikian juga harga petai, harganya lebih dahsyat lagi yaitu menembus kisaran 150.000 rupiah per kilogram dari harga yang biasanya berkisar 40.000,- rupiah per kilogram. Ini lagi-lagi menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan setelah sebelumnya juga gagal mengendalikan harga beras, bawang dan daging.

Kondisi seperti ini tentu saja sangat memukul perekonomian rumahtangga yang terutama anggotanya banyak sebagai penikmat jengkol dan petai. Selain itu pengusaha kuliner seperti warteg dan rumah makan yang berterbaran di Jakarta dan sekitarnya yang menjadikan jengkol dan petai sebagai menu andalannya mulai terguncang. Mereka harus memutar otak untuk terus bisa bertahan di tengah kelangkaan dan kenaikan harga jengkol dan petai yang berlipat-lipat ini.

Kelangkaan dan kenaikan harga jengkol dan petai ini ditengarai karena musim panen raya yang belum datang dan/atau juga karena jumlah pohon kedua komoditas ini, terutama jengkol, mulai mengalami penurunan akibat penggunaan kayunya untuk keperluan lain. Ini hampi terjadi di kawasan yang dulu menjadi sentra penghasil jengkol seperti di Pulau Sumatera maupun Pulau Jawa. Misalnya di kawasan Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, yang juga sebagai penghasil jengkol dan petai, banyak petani yang memotong pohon jengkol dan dijadikan kayu bakar. Jengkol juga tidak dianggap sebagai pendukung utama ekonomi mereka, nilai ekonomisnya masih kalah jauh dibandingkan dengan tanaman perkebunan utama seperti cengkeh, kopi, kakao, durian dan buah-buahan lainnya. Sedangkan untuk petai masih lumayan mendapat tempat di hati petani untuk dibudidayakan secara intensif.

Sementara itu, beberapa pihak juga menengarai bahwa kenaikan harga jengkol dan petai ini karena adanya ulah spekulan yang bermain-main dengan dua komoditas ini. Bisa benar bisa tidak. Yang jelas, pengamatan penulis di beberapa tempat penghasil jengkol, meski harga jengkol dan petai berlipat-lipat, harga di tingkat petani tetap saja tak terlalu beranjak. Ini artinya ada margin kenaikan harga yang tak tertransfer ke petani dan hanya dinikmati beberapa orang saja.

Secara ekonomi makro, dampak dari kenaikkan harga jengkol dan petai ini sampai sekarang memang belum tampak terlihat. Mungkin baru bulan depan kita bisa melihat hitung-hitungan dari instansi yang berwenang dan berkepentingan untuk mengeluarkan analisisnya. Namun demikian secara mikro kelangkaan dan kenaikan harga jengkol dan petai setidaknya telah menimbulkan riak-riak yang jika dibiarkan bisa saja menjadi gelombang badai perekonomian kita. Kita tidak boleh abai akan fenomena ini jika tidak ingin dampaknya terhadap inflasi sama seperti halnya ketika ada kenaikan harga daging, bawang merah dan bawang putih, yang memberikan andil belasan persen pada bulan Februari lalu. Apalagi sebentar lagi kita juga akan menghadapi bulan ramadhan dan idul fitri yang biasanya inflasinya secara simultan disebabkan oleh kenaikan harga pangan.

Untuk mengantisipasinya tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh keseriusan semua pihak terutama dalam kebijakan produksi komoditas semacam ini. Memang untuk komoditas pertanian semacam ini seringkali terjadi dilema. Disaat terjadi kelangkaan seperti saat ini harganya sangat fantastis. Namun disaat panen raya harganya bisa terjun bebas, sementara permintaan konsumen cenderung stabil dan nyaris tak ada peningkatan.

Revitaslisasi Tanaman Jengkol

Namun demikian ada hikmah dibalik fenomena ini. Dengan meroketnya harga jengkol dan petai ke permukaan, yang selama ini kita anggap sebagai makanan kelas dua dan seringkali kita abaikan, ternyata kita dibuat kelabakan juga ketika pasar tak mampu memenuhinya. Dan kita mau tidak mau harus mulai memperhatikan dua komoditas ini. Solusi yang terbaik memang kita harus mampu memproduksi sendiri. Sungguh ironis misalnya jika ceruk pasar jengkol dan petai saja harus diisi produk impor dari negara lain, sementara kita mempunyai sumberdaya alam dan wilayah agraris yang subur dan makmur.

Oleh karena itu, yang perlu mendapat perhatian sekarang adalah bagaimana kita mampu merevitalisasi tanaman jengkol yang selama ini keberadaannya seringkali kita abaikan. Pemerintah perlu menginisiasi, memotivasi dan memfasilitasi revitalisasi tanaman ini. Yang terpenting adalah pemerintah memberikan stimulus dan menjaga stabilitas harga serta harganya tetap menguntungkan petani tetapi juga tidak memberatkan konsumen. Sekali lagi, seringkali tanaman jengkol dan petai yang sifatnya musiman ini ketika panen datang harganya sangat rendah sehingga tidak memberikan insentif bagi petani untuk membudidayakan lebih intensif.

Selain itu, masyarakat, terutama yang tinggal di desa yang masih memiliki pekarangan, sebenarnya juga bisa kita dorong untuk menanam jengkol sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Tanaman jengkol selain mempunyai nilai ekonomi, juga baik untuk penghijauan dan fungsi ekologi lainnya. Bisa kita hitung berapa besar produksi jengkol kita jika satu rumahtangga (desa) bisa menanam satu pohon di sekitar rumahnya.

Alhasil, dengan cara seperti ini diharapkan mampu mewujudkan ketersediaan jengkol dan petai di tingkat mikro (rumahtangga) maupun tingkat lokal sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan di tingkat makro (nasional). Ceruk-ceruk pasar jengkol dan petai pun tetap kita yang mengisi sendiri sekaligus menutup peluang negara-negara lain yang bisa jadi mungkin mereka gencar mengincar pasar jengkol dan petai kita. Dan yang terpenting jangan sampai ironi-ironi ekonomi seperti ini terus-menerus terjadi di negeri agraris nan subur dan makmur, gemah ripah loh jinawi ini. Semoga!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code