![]() |
Koperasi Merah Putih [Ilustrasi: istimewa] |
KETIKA kita membicarakan koperasi, seharusnya yang terbayang adalah gotong royong dan solidaritas rakyat. Bung Hatta, yang kita kenal sebagai Bapak Koperasi, menegaskan bahwa “koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Koperasi bukanlah lembaga formal yang berdiri karena instruksi, melainkan gerakan sosial yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
Sayangnya, Koperasi Merah Putih yang baru saja digulirkan pemerintah tidak menunjukkan ruh itu. Program ini memang menghadirkan struktur seperti adanya legalitas, ada badan hukum, ada kantor di desa yang memajang papan nama. Namun, kultur koperasi, yaiti rasa memiliki, partisipasi, dan kesadaran anggota, hampir tak terlihat. Seperti rumah besar yang megah tapi kosong melompong, Koperasi Merah Putih berjalan tanpa jiwa.
Prinsip koperasi sejati sejatinya sudah lama dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA) yang meliputi keanggotaan sukarela, pengendalian demokratis, partisipasi ekonomi anggota, serta otonomi dari intervensi luar. Prinsip "satu anggota, satu suara" adalah jantung demokrasi koperasi. Namun dalam Koperasi Merah Putih, banyak pengurus dipilih bukan karena aspirasi warga, melainkan ditunjuk untuk memenuhi target birokrasi. Alih-alih partisipasi, yang muncul justru mobilisasi.
Kita juga harus jujur melihat risiko besarnya. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, target program ini mencakup 80.000 unit usaha dengan potensi perputaran dana Rp240 triliun. Angka yang sangat menggiurkan, tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 hanya berada di angka 34, menempatkan kita di peringkat 115 dari 180 negara. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menunjukkan bahwa dana desa merupakan salah satu sektor paling rawan penyalahgunaan. Bila dana desa saja sering bocor, bagaimana dengan proyek koperasi raksasa yang didorong dalam waktu singkat?
Bayangkan proses pengadaan barang, jasa konsultan, hingga pencairan kredit dari bank BUMN. Semua titik ini rawan yang bisa menjadi arena bancakan para elite lokal, makelar proyek, atau politisi. Atas nama ekonomi kerakyatan, uang rakyat bisa saja mengalir ke kantong segelintir orang. Di sini kita melihat ancaman besar bahwa koperasi yang seharusnya menjadi benteng rakyat malah dijadikan jalan tol perburuan rente dan mobilisasi politik.
Padahal, Bung Hatta sudah berulang kali mengingatkan bahwa koperasi adalah sekolah kehidupan. Dalam pidatonya tahun 1966 di Bandung, beliau menekankan bahwa koperasi mendidik seseorang untuk mampu menolong dirinya sendiri dengan kebersamaan. Keuntungan memang penting, tetapi bukan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah membangun karakter mandiri, jujur, dan solidaritas.
Dengan pola top-down seperti Koperasi Merah Putih, kita justru diajari ketergantungan. Bukan wirausaha kolektif yang tumbuh, melainkan mental proyek. Kita belajar menunggu instruksi dan dana cair, bukan membangun usaha karena kebutuhan bersama. Hasilnya, koperasi memang ada secara struktur, tetapi tiada secara kultur.
Kita harus ingat bahwa koperasi sejati lahir dari denyut nadi rakyat. Koperasi tumbuh dari rasa percaya dan kesadaran bahwa kita bisa lebih kuat jika bergotong royong. Koperasi tidak bisa dipaksakan lewat edaran atau anggaran triliunan. Jika kita sungguh ingin menghidupkan koperasi, maka jalannya adalah memberdayakan warga, membangun kesadaran, dan memberi ruang bagi demokrasi ekonomi di akar rumput. Sebab koperasi bukan proyek kekuasaan, melainkan gerakan rakyat untuk kedaulatan ekonomi bersama.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!