Ad Code

Subsidi Pertanian, Siapa yang Diuntungkan?

DI tengah gejolak harga pangan dan tekanan ekonomi global, subsidi pertanian masih menjadi topik hangat yang memicu perdebatan. Kita sering mendengar bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk mendukung sektor pertanian. Namun, pertanyaannya, apakah subsidi tersebut benar-benar sampai ke petani kecil yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan kita? Atau justru dinikmati oleh kelompok yang lebih mapan dalam rantai distribusi pangan?

Subsidi pertanian pada dasarnya merupakan bantuan pemerintah untuk menekan biaya produksi pertanian. Bentuknya bisa berupa subsidi pupuk, benih, alat mesin pertanian (alsintan), hingga kredit berbunga rendah. Dalam RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp104 triliun untuk sektor pertanian dan ketahanan pangan. Dari jumlah itu, subsidi pupuk kembali menjadi komponen terbesar, yakni sekitar Rp30 triliun. Secara kasat mata, angka tersebut menunjukkan komitmen negara terhadap sektor ini. Tapi jika kita melihat lebih dalam, efektivitas subsidi masih menyisakan banyak pertanyaan.

Kita tentu harus mengakui bahwa subsidi pupuk telah membantu petani menekan biaya produksi. Namun, laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sejumlah lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa distribusi pupuk bersubsidi masih bermasalah. Salah satu masalah utamanya adalah ketidaktepatan sasaran. Banyak petani kecil yang justru kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi karena terbatasnya kuota dan data petani yang tidak akurat dalam e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Sementara itu, ada pihak-pihak yang justru bisa memperoleh pupuk bersubsidi dalam jumlah besar, bahkan memperjualbelikannya di pasar gelap.

Jika subsidi pertanian tidak tepat sasaran, maka dampaknya menjadi ganda. Di satu sisi, petani tetap menghadapi biaya tinggi dan tidak bisa bersaing secara efisien. Di sisi lain, anggaran negara terbuang sia-sia dan membuka peluang penyalahgunaan. Ini tentu bukan harapan kita sebagai bangsa agraris. Petani seharusnya mendapatkan prioritas dalam kebijakan dan dukungan pemerintah. Sayangnya, kebijakan subsidi masih banyak yang lebih menguntungkan distributor, tengkulak, atau korporasi besar.

Kita juga perlu menyoroti bahwa sebagian besar subsidi pertanian bersifat jangka pendek dan belum menyentuh akar permasalahan. Ketika pupuk disubsidi tetapi lahan pertanian terus menyusut karena alih fungsi lahan, hasilnya tetap stagnan. Ketika benih diberikan gratis tetapi irigasi tidak diperbaiki, produktivitas tidak meningkat secara signifikan. Ketika petani diberi alat mesin tetapi tidak ada pelatihan penggunaan dan perawatan, maka alat-alat itu menjadi barang rongsokan.

Subsidi seharusnya tidak sekadar diberikan, tetapi juga dievaluasi secara berkala. Apakah subsidi yang ada sudah membantu peningkatan produktivitas? Apakah sudah menurunkan angka kemiskinan di pedesaan? Kita jarang mendengar laporan menyeluruh tentang evaluasi ini. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, angka kemiskinan di pedesaan masih berada di kisaran 12,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang sekitar 7%. Ini menandakan bahwa subsidi belum sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan petani.

Kita juga perlu mendorong agar subsidi pertanian tidak hanya difokuskan pada input produksi, tetapi juga diarahkan pada aspek hilir seperti akses pasar, logistik, dan pasca panen. Banyak petani yang mengeluhkan harga jual yang tidak stabil, terutama saat panen raya. Mereka tidak memiliki tempat penyimpanan hasil panen, tidak mampu mengakses pasar yang lebih luas, dan sering kali hanya bergantung pada tengkulak yang membeli dengan harga murah. Dalam konteks ini, subsidi bisa dialihkan menjadi insentif untuk koperasi petani, penguatan cold storage, atau digitalisasi pasar tani.

Selain itu, subsidi perlu didesain lebih inklusif terhadap petani muda dan perempuan. Saat ini, regenerasi petani menjadi masalah serius. Rata-rata usia petani di Indonesia mencapai 52 tahun. Jika tidak ada insentif atau dukungan khusus untuk anak muda agar tertarik bertani, maka dalam dua dekade ke depan kita bisa mengalami krisis petani. Maka, alangkah baiknya jika sebagian subsidi dialokasikan untuk pelatihan teknologi pertanian, inkubasi usaha tani, atau kredit startup agrikultur.

Kita tidak sedang menolak subsidi, tetapi ingin agar subsidi menjadi lebih adil dan berdampak nyata. Subsidi pertanian seharusnya menjadi alat strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan, bukan sekadar pengeluaran rutin negara. Kita ingin subsidi mengangkat derajat petani, bukan hanya menambal kebutuhan musiman. Untuk itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi petani dalam pengambilan kebijakan harus ditingkatkan.

Jika kita ingin melihat sektor pertanian tumbuh dan menjadi pilar ekonomi nasional, maka reformasi sistem subsidi adalah keharusan. Kita harus berani mengevaluasi kebijakan yang sudah usang, dan membuka ruang bagi pendekatan baru yang lebih berkelanjutan, adil, dan berdampak jangka panjang. Karena pertanian bukan sekadar urusan pupuk dan benih, tetapi menyangkut masa depan pangan dan kedaulatan bangsa.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code