Ad Code

Resesi Seks Menyebabkan Resesi Ekonomi, Benarkah?

Sumber gambar: kaskus.com

FENOMENA "resesi seks" dalam beberapa tahun terakhir telah melanda dan menghantui beberapa negara di dunia. Istilah resesi seks sendiri merujuk pada menurunnya mood pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah dan mempunyai anak. Fenomena ini bisa terjadi karena pasangan (pria-wanit) lebih senang bekerja dan mencari uang alih-alih melahirkan atau mengurus anak. 

Resesi seks yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini terjadi di beberapa negara maju di dunia seperti China, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. 

Di China, per 2021 tingkat kelahiran yang terjadi merosot menjadi 7,52 kelahiran per 1.000 orang tahun lalu. Menurut Biro Statistik Nasional China, hal ini menjadi yang terendah sejak pencatatan dimulai pada 1949. Pemerintahan China kini bahkan sampai merevisi aturan memiliki anak sehingga saat ini pasangan di China boleh memiliki tiga anak.

Sedangkan di Amerika Serikat (AS), fenomena resesi seks sudah mulai terlihat sejak 2012. Di Amerika Serikat ada tren yang tidak biasa, yakni angka orang Amerika yang berhubungan seks berkurang jauh daripada dekade sebelumnya.

Selanjutnya di Korsel dimana kelahiran bayi juga terus mengalami kemerosotan. Salah satu penyebabnya yang paling ekstri adalah adanya persatuan wanita yang menolak norma patriarkal dan bersumpah untuk tidak menikah bahkan berjanji untuk tidak mempunyai anak. 

Sementara di Jepang tercatat jumlah kelahiran bayi turun menjadi 840.832 pada 2020, turun 2,8% dari tahun 2019 sebelumnya. Jumlah angka ini juga terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.

Di Singapura, dari data terbaru pada awal 2022, jumlah pernikahan yang terjadi menurun drastis ke level terendah dalam 35 tahun terakhir. Sementara kelahiran bayi juga mengalami penurunan yang jauh pada level ternedah selama depan tahun terakhir. 

Tentu negara-negara tersebut kawatir dan ketar-ketir karena fenomena resesi seks bisa berdampak buruk pada kondisi sosial dan perekonomian negara jika terjadi terus-menerus. Setidaknya dalam sudut pandang struktur demografi, struktur penduduk akan berbentuk piramida terbalik, yaitu penduduk berusia lanjut dan non-produktif jumlahnya akan lebih banyak, sementara penduduk berusia produktif lebih sedikit.Dampaknya bukan saja pada sisi produktivitas (penawaran) tetapi juga pada sisi permintaan akan terpengaruh.

Dengan banyaknya penduduk berusia non produktif maka jumlah produk dan jasa yang dihasilkan juga akan menurun yang akhirnya  berdampak pada perlambatan roda perekonomian. Pendapatan kelompok ini pun jelas menurun sehingga kurang bisa menyokong pendapatan agregat negara khusunys dari sisi konsumsi.

Di sisi permintaan, karena jumlahnya kelompok berusia produktif sedikit, produktivitas secara agregat juga tidak terlalu banyak. Pun pasar yang harusnya tercipta lebih besar, jelas akan terbatasi dengan sedikitnya produksi (barnag dan jasa) yang dihasilkan. Permintaan barang-barang produksi, seperti rumah, kendaraan dan sebagainya akan berkurang seiring dengan berkurangnya generasi baru akibat resesi seks. 

Jadi fenomena resesi seks sesungguhnya dalam jangka panjang bisa menyebabkan perlambatan perekonomian, resesi ekonomi dan bahkan mungkin saja depresi ekonomi. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Setidaknya sampai 2035 nanti, Indonesia diperkirakan masih menikmati bonus demografi, yang meskipun “bonus” belum tentu juga bisa menjadi pendorong laju perekonomian. Banyak syarat rukun yang harus dipenuhi.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code